Oleh : CECEP MUSTAFA , SH, LLM, Ph.D (Hakim PN Bangkinang)
Tanggal Posting: 28-11-2018 13:47:58

HARUSKAH PENGADILAN PEMECAHAN MASALAH UNTUK PENYALANGUNAAN NARKOTIKA DIPERKENALKAN DI INDONESIA?



HARUSKAH PENGADILAN PEMECAHAN MASALAH UNTUK PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DIPERKENALKAN DI INDONESIA?

CECEP MUSTAFA , SH, LLM, Ph.D
Hakim Pengadilan Negeri Bangkinang Kelas IB


Abstrak
Meskipun beberapa bukti yang ada saling bertentangan, dari hasil penelitian ditemukan bahwa dengan memiliki pemantauan terus menerus dan interaksi yang baik antara pelaku narkotika oleh hakim yang sama, hakim lebih dalam memahami masalah pelaku, dan hakim secara psikologis memiliki simpati yang lebih besar untuk memahami masalah yang dialami pelaku dan tidak akan mudah menjatuhkan hukuman pemenjaraan. Dengan demikian, kita bisa berharap bahwa penggunaan hukuman pemenjaraan dapat dikurangi. Saya juga menemukan bahwa ada alasan yang baik untuk Mahkamah Agung Indonesia untuk memulai kembali mendefinisikan fasilitas sudah tersedia dan mulai memperkenalkan Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika. Meskipun terdapat beberapa kritik, elemen yang terdapat Pengadilan Pemecahan Masalah tampaknya tidak benar-benar asing bagi budaya hukum Indonesia. Dengan demikian, kita bisa berharap bahwa jenis pengadilan khusus ini akan cocok dalam persidangan di Indonesia.
Kata utama : Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika

Abstract
Despite some contradictory evidence, the research generally found that by having continuous monitoring and good interaction between the drug offender and the same judge, the judge more deeply understands the offender’s problem, and the judge physiologically has greater sympathy for the offender’s problem and will not easily impose custodial sentences. Thus, we could expect that custodial sentencing may be less used. I also found that there is good reason for the Indonesian Supreme Court to start re-defining a facility already available and start introducing Problems Solving Drug Courts. Despite some criticism, the keys features of Problems Solving Courts seem not completely foreign to Indonesian legal culture. Thus, we could expect that these types of specialized courts would fit within an Indonesian courtroom.
Key word : Problems Solving Drug Courts

A. PENDAHULUAN

Lembaga pemasyarakatan Indonesia didominasi oleh mereka dengan penyalaguna narkotika. Pada bulan Agustus 2013 terdapat 50.425 narapidana narkotika dihukum di lembaga pemasyarakatan Indonesia, yang merupakan 85% dari total populasi lembaga pemasyarakatan.[1] Penyalahgunaan narkotika merupakan salah satu masalah besar yang menjadi perhatian para pengambilan keputusan : Para pembuat kebijakan harus berpikir ulang menemukan cara yang lebih konstruktif untuk mengurangi penggunaan pemenjaraan untuk penyalahguna narkotika. Karena Skotlandia dan Amerika Serikat telah memiliki pengalaman dalam Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika, maka pengalaman mereka dapat menjadi pelajaran berharga untuk mengurangi penggunaan pemenjaraan terhadap penyalahgunaan narkotika di Indonesia.

Berdasarkan ide rehabilitasi untuk penyalahguna narkotika;[2] Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika adalah model yang relatif baru dalam menyelesaikan masalah penyalahguna narkotika, khususnya dalam hal kolaborasi tim-kerja dan mendefinisikan ulang fasilitas sudah tersedia. Badan Narkotika Indonesia (BNN) mempercayai bahwa pecandu narkotika bisa saja ditangani dengan cara selain pemenjaraan dan mendesak hakim pengadilan untuk menggunakan pemenjaraan sebagai upaya terakhir untuk pecandu narkotika.[3] Mahkamah Agung Indonesia juga mendorong hakim pengadilan untuk menggunakan pemenjaraan sebagai upaya terakhir untuk pecandu narkotika[4]. Penelitian yang dilakukan oleh Balitbang MA-RI mengutip sekitar 66,66% responden hakim setuju dengan menghukum penyalahguna narkotika-kecanduan kurang kasar dari hukuman wajib minimum.[5]

Pengadilan pada saat ini ditantang untuk mengatasi masalah dengan terlalu sering penggunaan hukuman pemenjaraan. Hal ini memiliki implikasi pengambilan keputusan utama: hakim harus berpikir ulang cara yang konstruktif untuk mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan untuk penyalahguna narkotika. Jika Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika benar-benar dapat membantu untuk mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan untuk penyalahguna narkotika di Indonesia, maka penggunaan Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika bisa dibenarkan.

B. PENGADILAN PEMECAHAN MASALAH

1. Fitur utama dari Pengadilan Pemecahan Masalah

Adalah penting bahwa para pembuat kebijakan menyadari fitur utama Pengadilan pemecahan masalah. Cyrus Tata, dalam Justice Matters Skotlandia, khusus melihat fitur-fitur utama. Fitur utama dari Pengadilan Pemecahan Masalah dibahas adalah: (1) bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah memiliki konsepsi tertentu terhadap “ permasalah an"; (2) bahwa terdapat pemantauan terus-menerus dari peradilan kepada pelaku, dan (3) bahwa terdapat "tim-kerja yang inter- disipliner "dalam Pengadilan Pemecahan Masalah. [6]

1.1. Pengadilan Pemecahan Masalah memiliki konsepsi tertentu terhadap "masalah"

Pengadilan Pemecahan Masalah memiliki konsepsi tertentu tentang apa "masalah" adalah. "Masalah" diidentifikasi pada tingkat mikro, misalnya, dalam hal Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika maka masalah yang akan dipecahkan adalah kecanduan narkotika.[7] Tujuan dari Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika adalah yang bisa dibilang terapeutik.[8] Tujuan ini didasarkan pada asumsi bahwa mengakhiri kecanduan narkotika dimulai dengan tanggapan langsung terhadap perilaku kecanduan narkotika. Asumsi ini berasal dari kelahiran kembali dari ide rehabilitasi. Ide ini telah mengubah konsepsi penyelesaian kasus. Para pendukung Pengadilan Pemecahan Masalah juga percaya bahwa kasus pidana dapat diselesaikan tanpa pengadilan. Dalam hal hukuman wajib bagi kasus narkotika, keyakinan ini telah mengubah konsepsi tentang tujuan pengadilan. Sebagai contoh, tujuan dari Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika adalah untuk mengurangi acaman hukuman pemenjaraan dalam kasus narkotika. Dalam hal ini, masih ada beberapa masalah tentang bagaimana tepatnya metode Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika seharusnya untuk mencapai tujuan mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan untuk penyalahguna narkotika.

1. 2. Pemantauan Berkelanjutan dari Peradilan kepada Pecandu

Yang dimaksud dengan Pemantauan berkelanjuan oleh peradilan adalah peran hakim sangat terlibat dan terus memantau perkembangan pelaku. Di bawah ide "perubahan perilaku" ide, ada asumsi implisit bahwa dengan menetapkan perintah khusus Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika, misalnya,dengan penetapan terapi dan pengujian narkotika/ Drug Treatment and Testing Orders (DTTOs), diharapkan perilaku dari pelaku akan berubah.[9] Asumsi ini didasarkan pada argumen bahwa proses pengambilan keputusan dimulai dengan kemauan pelaku untuk menjalani perawatan rutin, termasuk tes narkotika secara acak. Diharapkan kemajuan perawatan(atau kemunduran perawatan) dapat ditinjau oleh hakim. Dalam beberapa kasus, peningkatan frekuensi pengujian dipandang sebagai cara untuk menghentikan penggunaan narkotika. Namun, seperti pada kenyataannya DTTOs dianggap eksperimental, tidak memberikan jaminan mutlak bahwa dengan mengikuti perintah pengadilan, pelaku akan mencapai kemajuan. Seperti yang akan dibahas nanti, masih ada beberapa isu yang perlu diperhatikan khususnya tentang peningkatan frekuensi pengujian ini menyebabkan kemungkinan peningkatan pelanggaran perintah oleh pelaku.

1. 3. Tim-kerja Interdisipliner

"Tim-kerja Inter-disiplin ", atau dikenal sebagai kolaborasi, melibatkan kerjasama antara instansi yang menyediakan layanan parawatan bagi kasus pecandu narkotika dan instansi penegak hukum memproses kasus tersebut. Tim inter-disiplin biasanya terdiri dari pekerja sosial, spesialis (misalnya, seorang ahli terapi untuk kecanduan), dan penuntut umum. Hakim bertindak sebagai pemimpin tim di ruang sidang dan tim berkontribusi dengan memberikan pendapat profesional mereka kepada hakim. Pendapat profesional umumnya mencakup informasi tentang kemajuan pelaku. dan penilaian yang intensif.

Model "tim kerja" ini telah mengubah peran hakim, dimana dalam " sistem peradilan pidana konvensional" hakim "menjaga jarak" dari pelaku dan para pihak yang berperkara di pengadilan[10], misalnya hakim menghindari berempati kepada pelaku. Dalam model konvensional, jika penuntut umum berpendapat terdakwa terbukti bersalah atas dakwaan yang didakwakan kepadanya dan menuntut supaya hakim menjatuhkan hukuman pemenjaraan, maka hakim memiliki peran minimal dalam menyetujui hukuman pemenjaraan. Sebaliknya di Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika, untuk pertama kalinya, untuk memastikan terdakwa membuat kemajuan dan menghindarkan dari hukuman pemenjaraan, peran hakim lebih aktif dan lebih banyak terlibat dalam melakukan program intervensi terapeutik dan pengawasan pengadilan.[11] Seperti yang akan dibahas nanti, masih ada beberapa pertanyaan tentang peran "tambahan" yang melekat pada hakim Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika: misalnya keseimbangan antara empati dan imparsialitas[12], dan tujuan mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan untuk penyalahguna narkotika.

2. Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika di Amerika

Meskipun ada banyak model Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika di Amerika, pada umumnya Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika memiliki beberapa elemen utama: 1) konsep "tim kerja" dari Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika, yang terdiri dari Lembaga pemasyarakatan, penyedia perawatan, Penasihat hukum, penuntut umum, dan hakim, (2) program pemulihan mengatur dengan jelas struktur , tujuan dan aturan bagi pecandu, (3) Hakim membuat pendekatan "turun tangan langsung" untuk program pemulihan terdakwa, (4) proses ajudikasi adalah non-konfrontasi[13], dan (5) intervensi langsung.[14] Keyakinan ini telah mengubah konsepsi tentang peran pengadilan. Misalnya, untuk mempersiapkan langkah program oleh Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika, program harus menilai dukungan masyarakat dan iklim politik alternatif non-pemenjaraan sebelum menawarkan dan mengembangkan sumber daya dalam masyarakat. Selain itu, menggali nilai nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan layanan dukungan program Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika. Sebagai contoh, untuk mengidentifikasi kebutuhan dalam layanan dukungan dan kerangka waktu pelaksanaan, pertemuan diadakan antara penyedia layanan di masyarakat dan staf Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika. Dalam hal ini, seperti yang akan dibahas nanti, masih ada beberapa masalah etika berkaitan apakah dengan kedekatan hubungan antara pengadilan dan penyedia layanan di masyarakat akan sesuai dengan konteks di Indonesia.

3. Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika di Skotlandia

Nolan (2009) berpendapat bahwa Skotlandia telah meminjam model pemecahan masalah dari Amerika tapi belum menerima teori kebersamaan/ kedekatan hubungan pengadilan dan masyarakat yang begitu signifikan dari pengadilan yang terdapat di Amerika, Kanada dan Australia. Sangat menarik untuk dicatat bahwa, pengimpor model Pengadilan Pemecahan Masalah percaya bahwa mereka dapat memilih dan memilih unsur-unsur yang sesuai dengan situasi lokal mereka dan membuang apa yang tidak. Dengan pelunakan dan pemodifikasian model Amerika, Skotlandia berhasil mengadopsi fitur "evolusi" dan menolak fitur "revolusioner" dari Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika[15]. Penelitian oleh Braithwaite (2002) menunjukan bukti "transparansi" evaluasi dengar pendapat yang diselenggarakan dalam pengadilan yang terbuka untuk umum "sebagai fitur khas Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika di Skotlandia" sangat penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika "[16]. Oleh karena itu, meskipun Skotlandia telah meminjam elemen dari model Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika di Amerika, Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika di Skotlandia telah menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap pertumbuhan yang cepat dari pendekatan Yurisprudensi terapeutik[17](Terapeutic Jurisprudence) pendekatan yang banyak dianut Amerika Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika di Amerika.

Penelitian oleh Gill McIvor (2009) menunjukkan bahwa fokus utama dari Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika di Skotlandia adalah mendorong dan mendukung reformasi peserta. McIvor mengedepankan dua kemungkinan alasan mengapa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika di Skotlandia mengedepankan perawatan daripada menghukum. Pertama, tujuan mendasar dari Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika di Skotlandia adalah untuk merehabilitasi dan mempertahankan keinsyafan. Kedua, mereka terus-menerus tunduk pada pemantauan oleh hakim berdasarkan etika perawatan. Tampaknya Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika di Skotlandia secara implisit mengadopsi Yurisprudensi Terapeutik. Seperti yang akan dibahas dalam bagian berikut, ada beberapa kritik tentang makna bantuan dalam kaitannya dengan teori rehabilitasi.

4. Kritik terhadap Pengadilan Pemecahan Masalah

4.1. Arti "Bantuan" menurut Teori retributif

Faham Retributif menganjurkan bahwa hukuman seharusnya dinilai berdasarkan dari kerugian yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan dan kesalahan dari pelaku. Makna bantuan dari sudut pandang retributif adalah bahwa tujuan penghukuman adalah untuk mendorong pelaku ke arah rekonsiliasi, dan reformasi-diri, dan perinsyafan. Sebagai agen moral yang rasional, sanksi adalah pesan serius bagi pelaku untuk menegakkan supremasi hukum. Dikatakan bahwa, untuk menjaga kontrak sosial, pelaku harus mematuhi aturan dengan serius. Dikatakan bahwa, teori retributif muncul kembali di era modern pada 1970-an, didorong oleh kegagalan luas pelaksanaan ide rehabilitasi.

4.2. Kritik terhadap Teori Rehabilitasi

Berbagai bentuk kritik telah ditujukan pada teori rehabilitatif. Teori rehabilitatif memandang kejahatan sebagai penyakit yang harus disembuhkan, dan inilah "model treatment" yang merupakan sasaran kritik. teori retributif mengkritik gagasan rehabilitasi dengan menyatakan bahwa tidaklah etis untuk menghukum atau memperlakukan pelaku atas dasar apa mereka mungkin "diharapkan" untuk melakukan bukan pada apa yang telah mereka lakukan. Ia berpikir bahwa ide rehabilitasi diperbolehkan untuk sanksi tak tentu.

Faham neo-retributif menantang kenyataan bahwa rehabilitasi menyangkal integritas moral pelaku karena kejahatan dipandang sebagai ditentukan bukan sebagai tindakan kehendak bebas. Dikatakan bahwa model perawatan dapat mengakibatkan disabilitas moral; bahwa pelaku diperlakukan sebagai kekanak-kanakan dan perlu dilindungi. Ia juga berpikir bahwa model perawatan mungkin secara moral tidak sehat dalam memperlakukan pelaku seperti "binatang untuk dilatih". Dengan demikian ide rehabilitasi, sampai batas tertentu, dapat merendahkan martabat para pelaku.

4.3. Arti "Bantuan" menurut Teori Rehabilitasi


Teori rehabilitatif, seperti yang diketahui, memandang hukuman sebagai terapi untuk kejahatan. Utilitarianisme akan mengklaim bahwa model perawatan dapat mengubah kepribadian pelaku, dan dengan berbuat demikian menghapus / kapasitas nya untuk pilihan moral. Utilitarianisme tidak hanya peduli dengan menggabungkan filsafat moral dan politik dari "kebaikan" kebahagiaan manusia, tetapi juga dengan menitik beratkan peran negara dalam mengurangi penderitaan manusia dan menambah kebahagiaan manusia. Proses mereformasi penjahat yang sebenarnya, mencegah aksi kejahatan dan menahan terdakwa dari peredaran umum, hal tersebut diyakini dapat membantu untuk menghindari kejahatan lebih lanjut.

Untuk mencegah seseorang dari mengulang tindak pidana, Bentham pada 1748-1832 mengajukan 3 strategi termasuk: 1) untuk membuat dia takut untuk berbuat jahat; 2) untuk mengambil keinginannya untuk berbuat jahat, dan 3) untuk mengambil kekuatan fisik pelaku. Ia berpikir bahwa strategi ini, sampai batas tertentu, dapat menghindarkan seseorang dari melakukan kejahatan lebih lanjut. Dalam pengertian ini, dengan menghubungkan ini makna konseptual "bantuan" untuk praktek Yurisprudensi Terapeutik di Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika, diharapkan bahwa hal itu akan membantu untuk mengklarifikasi apakah Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika menyediakan cara-cara untuk mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan untuk penyalahguna narkotika.

4.4. Apakah Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika dapat mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan?

4.4.1. Tingkat Residivisme

Secara umum, tampaknya ada argumen yang mendukung bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika dapat mengurangi tingkat residivisme antara peserta. Terdapat dukungan untuk argumen ini dari McIvor (2009), yang sepakat bahwa partisipasi dalam Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika tidak hanya mengurangi narkotika kecanduan dan penggunaan narkotika yang berkurang tetapi juga menghasilkan perbaikan dalam kesejahteraan dan kesehatan.[18] McIvor (2004) juga menunjukkan bukti bahwa DTTOs di Skotlandia menurunkan tingkat residivisime lebih rendah dibandingkan pada periode sebelum DTTOs.[19] McSweeney, Turnbull dan Hough (2008b) menunjukkan bukti bahwa beberapa evaluasi Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika di Amerika menunjukkan partisipasi dan penyelesaian yang terkait untuk menurunkan tingkat residivisme dan penangkapan-ulang dan penurunan penggunaan narkotika.[20] Shaffer (2006) menunjukkan bukti bahwa di Amerika, Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika mengurangi tingkat residivisme sekitar sembilan persen di antara peserta. ini mendukung dan menambah temuan Bank dan Gottfredson (2003), yang menunjukkan hasil yang sama di mana meningkat dalam perawatan pelaku di Pengawasan Intensif / Parole (ISP) dapat dikaitkan dengan pengurangan yang signifikan tingkat residivisme. Cooper (1997) juga menunjukkan bukti pengurangan lebih dari lima puluh persen dari tingkat residivisme peserta di Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika di Oklahoma. Di Skotlandia " pengurangan tingkat residivisme yang mencolok" selama 12 bulan pertama pengoperasian percontohan Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika Skotlandia diidentifikasi oleh Eley et al., (2002). Temuan serupa ini disorot di Wales dan Inggris (Hough et al., 2003). Argumen tersebut meperlihatkan dominasi program DDTOs dalam konteks Skotlandia.

Temuan ini menunjukan pembenaran terhadap argumen "intervensi dalam perawatan". Namun demikian, tidak jelas apakah intervensi ini akan berhasil pada tingkat yang sama di tempat lain. Hoffman (2002) tidak menemukan bukti kuat bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika efektif dalam mengurangi baik kepulangan sakit atau kambuh.[21] Sung dan Belenko (2005) menyimpulkan bahwa para peserta menyatakan putus asa dengan tingkat dukungan yang ditawarkan karena mengakibatkan keterbatasan hubungan sosial (hidup sendiri dan menjadi pengangguran).[22] Carey, Waller & Marchand (2005) menemukan bahwa partisipan pria mengalami residivisme yang lebih tinggi (lebih re-penangkapan dan lebih hari lembaga pemasyarakatan) daripada perempuan.[23] Haapanen et al., (1998) mendirikan yang ar studi andomized dari parolees California yang diuji narkotika lebih mungkin kecanduan-ulang dan lebih sering.[24]

Meskipun bukti-bukti yang ditawarkan di sini, bagaimanapun, masalah kemudian menjadi:? Akan Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika mencapai tujuan mereka mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan di Indonesia Tampaknya ketiga unsur ini, partisipasi dalam perawatan, keterlibatan peradilan dan penggunaan yang sesuai dari sanksi, yang efektif dalam mencapai tujuan mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan, karena bukti yang dijelaskan di sini adalah konsisten dengan keadilan prosedural[25] bahwa partisipasi dan dialog Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika dapat meningkatkan kepatuhan perawatan dan desistance dari kejahatan. Hal ini juga konsisten dengan fitur utama dari Pengadilan Pemecahan Masalah bahwa dengan memiliki pemantauan terus menerus dan interaksi yang baik antara pelaku narkotika dan hakim yang sama , hakim dapat memahami masalah pelaku yang lebih baik, mengembangkan lebih simpati terhadap pelaku dan lebih kecil kemungkinannya untuk memaksakan hukuman pemenjaraan. Dengan demikian, kita bisa berharap bahwa hukuman pemenjaraan semakin jarang digunakan.

4.4.2. Terapi

Ada juga argumen tentang apakah Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika adalah bersifat terapi. Di satu sisi, ada bukti yang baik untuk argumen bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika adalah bersifat terapi. Winick dan Wexler (2003) menyimpulkan bahwa dengan memberikan kesempatan yang adil untuk mendengar peserta akan memiliki efek terapeutik. Nolan (2002a) menyimpulkan bahwa ada bukti bahwa hakim Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika membuat perbedaan dalam kehidupan klien individu.[26] Ada juga dukungan untuk argumen ini dari McIvor (2009), yang menunjukkan kesepakatan di sejumlah yurisdiksi bahwa partisipasi dalam Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika dapat meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan peserta.[27] Kajian "efek terapi" di Skotlandia diidentifikasi oleh Eley et al., (2002) yang menunjukkan bukti bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika menghasilkan efektifitas dalam mengurangi penggunaan narkotika di kalangan peserta selama mereka 12 bulan pertama operasi Skotlandia Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika pilot.[28] Banyak dari argumen ini menunjukan dominasi peran hakim Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika dalam konteks Skotlandia.

Temuan ini menjadi pembenaran argumen yang menyatakan bahwa "hakim Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika membuat perbedaan". Namun, berbagai kritik telah ditujukan pada motivasi para hakim Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika di Amerika, khususnya kegembiraan mereka bahwa para hakim menemukan ajudikasi yang bersifat terapi memenuhi kepuasan pribadi dan puncak karir mereka. Mungkinkah antusiasme Hakim Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika menjadi pendorong terapi untuk perubahan peserta? Pandangan berbeda yang disoroti oleh Wexler (2001) di mana Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika program perubahan-diri yang bersifat kognitif tidak bekerja untuk semua orang. Hal ini tergantung pada kemauan pelaku untuk berubah dan melanjutkan hidupnya kearah yang lebih baik.[29] Winick dan Wexler (2003) menyimpulkan bahwa belum ada bukti yang cukup untuk mengkonfirmasi bahwa kinerja terbaik oleh terapis akan menghasilkan hasil yang sama ketika dilakukan di pengadilan oleh hakim. Para peneliti di Skotlandia kemudian menyatakan bahwa di kedua lokasi percontohan Glasgow dan Fife Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika, pria memiliki tingkat kelulusan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan (McIvor et al., 2006). Perbedaan ini disorot di kedua Skotlandia dan di Amerika. Popovic (2006) menemukan bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah sering "menggurui" kepada terdakwa. Seligman (1975) menemukan bahwa label ketidakmampuan dapat membuat perasaan tidak berdaya dan kehilangan kontrol, yang paling serius yang merupakan fenomena ketidakberdayaan yang dipelajari.[30]

Meskipun bukti-bukti yang ditawarkan di sini, bagaimanapun, masalah kemudian menjadi: akankah Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika mencapai tujuan mereka mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan di Indonesia? Tampak jelas dari bukti bahwa kerja tim yang efektif dikombinasikan dengan interaksi terus-menerus, yang efektif untuk mencapai tujuan mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan, karena bukti yang dijelaskan di sini adalah konsisten dengan yurisprudensi terapeutik yang menganjurkan menciptakan kondisi yang dapat membantu peserta untuk mengakhiri perilaku kecanduan narkotika. Ini juga konsisten dengan tombol fitur Pengadilan Pemecahan Masalah bahwa dengan memiliki tim kerja interdisipliner, pekerja kecanduan dapat memberikan pertimbangan profesional untuk mendukung pengambilan keputusan hakim. Dengan demikian hakim dapat diinformasikan dengan baik dan cenderung untuk memaksakan hukuman pemenjaraan pada pelaku, dan kita bisa mengharapkan lebih sedikit menggunakan hukuman pemenjaraan.

4.4.3. Lebih manusiawi?

Ada juga perdebatan tentang apakah Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika yang lebih manusiawi atau tidak. Terdapat klaim yang menyatakan bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika yang lebih manusiawi. Nolan (2001) setuju bahwa perawatan narkotika Pengadilan (DTC) yang bekerja untuk memanusiakan dan memanfaatkan sistem peradilan pidana. Ada juga dukungan untuk argumen ini dari Daicoff (2000), yang menunjukkan kesepakatan bahwa gerakan Terapeutis yurisprudensi bisa membuat sistem hukum yang lebih manusiawi untuk klien. Ada juga dukungan untuk argumen ini dari Aukerman & McGarry (1994), yang menunjukkan kesepakatan bahwa model perawatan dirancang untuk memodifikasi perilaku klien dengan pembatasan minimal, tergantung pada kebutuhan perawatan.[31] Namun, tidak ada bukti untuk mendukung klaim ini. Permasalahan kemudian menjadi, mungkinkah memodifikasi perilaku peserta membuat mereka lebih manusiawi? Hal ini juga tidak jelas apakah intervensi ini akan berhasil terlepas dari gender. Moore (2011) menunjukkan bukti wanita merasa tidak nyaman di bawah pengawasan terapi pengadilan.[32] Penelitian tidak cukup untuk menyimpulkan bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika yang lebih manusiawi.

Meskipun bukti-bukti yang ditawarkan di sini, bagaimanapun, permasalahan kemudian menjadi: Akankah Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika mencapai tujuan mereka mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan di Indonesia? Berdasarkan bukti menunjukkan bahwa pendekatan secara ketat yang dikembangkan pada tahap ini terutama untuk perempuan, tidak cukup efektif dalam mencapai tujuan mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan, karena unsur perawatan yang memerlukan kebutuhan individu yang harus ditangani. Hal ini dapat menjati pelajaran bahwa respons yang tepat terhadap masalah-masalah individu pelaku dapat membantu untuk mengakhiri penyalahgunaan narkotika. Dengan memahami kebutuhan individu, kita bisa mengharapkan hukuman pemenjaraan dapat digunakan kurang.

4.4.4. Holistik ?

Ada juga isu-isu yang berkaitan dengan apakah Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika bersifat holistik atau tidak. Tampaknya ada dukungan umum untuk argumen bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika yang holistik. Freiberg (2011) menyimpulkan bahwa ada bukti bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika memberikan intervensi terkoordinasi antara pelayanan sosial dan pengadilan untuk mengatasi faktor-faktor kriminogenik, termasuk kecanduan alkohol dan narkotika, disabilitas intelektual, dan penyakit mental dan masalah terkait tunawisma dan pengangguran.[33] Ada juga dukungan untuk argumen ini dari Hakim Donald (2006) di Skotlandia yang menunjukkan kesepakatan bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika memakai cara pendekatan holistik bukan hanya berurusan dengan sebab-akibat kejahatan, tetapi dengan seluruh latar belakangnya.[34] Ada juga dukungan untuk argumen ini dari Braithwaite (2002) yang menunjukkan kesepakatan bahwa Terapeutik yurisprudensi memakain pendekatan hubungan manusia secara holistik mencakup rasa sakit, kehilangan, hubungan dekat dan emosi.[35] Ada juga dukungan untuk argumen ini dari Taxman (2002), yang menunjukkan kesepakatan bahwa metode pengendalian formal, termasuk ulasan pengadilan dan pengujian narkotika kemudian dapat diterapkan untuk mengukur kepatuhan dan kemajuan.[36] Maguire dan Raynor, (2006) juga menunjukkan bukti di mana teknik wawancara motivasi dan pemodelan pro-sosial yang digunakan untuk membantu desistance dan pantang. Dalam "interaksi yang berkelanjutan dengan hakim" Skotlandia diidentifikasi oleh McNeill (2006).[37] Banyak dari argumen ini mungkin menjelaskan pentingnya interaksi di pengadilan dalam konteks Skotlandia.

Meskipun bukti-bukti yang ditawarkan di sini, bagaimanapun, masalah kemudian menjadi: akankah Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika mencapai tujuan mereka mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan di Indonesia? Tampak jelas dari bukti-bukti bahwa pendekatan kontrol formal, dikombinasikan dengan teknik wawancara motivasi, pemodelan pro-sosial, dan interaksi berkelanjutan dengan hakim, yang efektif dalam mencapai tujuan mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan, karena bukti yang dijelaskan di sini konsisten dengan keadilan prosedural yang menekankan partisipasi dialog antara peserta dengan Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika, dapat meningkatkan desistance dari kejahatan, hal tersebut juga konsisten dengan yurisprudensi terapeutik menuntut bahwa mereka menciptakan kondisi yang diperlukan untuk mendukung reformasi peserta. Hal ini juga konsisten dengan fitur utama dari Pengadilan Pemecahan Masalah bahwa melalui keterlibatan yang mendalam dan pemantauan terus menerus kemajuan pelaku , kita berharap hukuman pemenjaraan dapat dikurangi.

4.4.5. Keperdulian kepada kebutuhan korban dan pelaku?

Masih ada beberapa pertanyaan apakah Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika perduli kepada kebutuhan korban dan pelaku? Sepertinya ada dukungan umum untuk argumen bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika memang peduli kepada kebutuhan korban dan pelaku. Dukungan untuk argumen ini disediakan oleh Freiberg (2011), yang setuju bahwa korban Pengadilan Pemecahan Masalah akan lebih diperdulikan dan penyalahguna akan lebih didorong untuk mengubah hidup mereka. ini mendukung dan menambah temuan Goldkamp (1999) yang menunjukkan hasil yang sama bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika yang secara progresif semakin perduli kepada mereka yang memiliki kebutuhan dan permasalahan yang sangat serius[38]. Temuan ini menjadi pembenaran argumen "keperdulian kepada kebutuhan korban dan pelaku" argumen. Argumen ini didasarkan pada asumsi bahwa pelaku lebih baik jika diberikan lebih banyak harapan dan insentif (Goldkamp, 1999), Penulis berpendapat asumsi tersebut tidak berlaku umum karena keperdulian tidak semata-mata tentang memberi lebih banyak harapan dan insentif tetapi tentang pencerahan dan motivasi diri.

4.4.6. Pendekatan Keras terhadap kejahatan?

Masih ada beberapa keraguan apakah Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika bersifat keras terhadap kejahatan / tidak "soft-option". Ada bukti yang baik untuk argumen bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika bersifat keras terhadap kejahatan[39] . Nolan (2003) menyimpulkan bahwa periode berkepanjangan dari partisipasi dalam program dan ketidakpastian mereka menunjukkan bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika yang keras terhadap kejahatan.[40] Ada juga dukungan untuk argumen ini dari Reilly (2007) yang menunjukkan kesepakatan bahwa pendekatan Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika adalah proses mempertimbangkan menggunakan metodologi didirikan untuk meningkatkan kemungkinan asimilasi dan pemulihan dan mengurangi kejahatan.[41] Freiberg (2002) juga menunjukkan bukti bahwa pemenjaraan telah digunakan sebagai sanksi lain oleh Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika. Pendapat berbeda dikemukakan oleh Miller (2009) yang menyatakan bahwa "cinta yang kuat" hanya retorika yudisial yang berarti disiplin kepada penyalahguna, bukan manajemen peluang medis.[42]

Di Inggris, sering diklaim bahwa kebijakan Inggris itu keras terhadap kejahatan, tapi nampkanya sangat sedikit bukti untuk mendukung klaim ini. Namun, Strang (2012) menunjuk ke sebuah studi kasus di mana terapi narkotika memiliki tempat yang penting dan sah dalam sistem pemulihan berorientasi perawatan.[43] Meskipun bukti yang ditawarkan di sini, bagaimanapun, permasalahanya kemudian menjadi: akankah Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika mencapai tujuan mereka mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan di Indonesia? Nampaknya, bukti-bukti menunjukkan bahwa mengelola peluang medis untuk pelaku narkotika sejalan dengan fitur utama dari Pengadilan Pemecahan Masalah bahwa dengan memanfaatkan DTTOs, pelaku bisa terus dikaji oleh hakim yang sama, dengan demikian, kita bisa berharap bahwa pelaku akan mengalami kemajuan dan Hakim tidak perlu menjatuhkan sanksi pemenjaraan.

5. Isu utama dari Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika

5.1. Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika belum tentu kurang hukuman

Jika salah satu tujuan Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika adalah untuk mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan di Indonesia, maka masih terdapat permasalahan apakah Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika memiliki kemampuan untuk mengurangi punitiveness di Indonesia? Berbagai kritik telah ditujukan pada Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika. Ini termasuk kritik bahwa mereka tampaknya berpotensi lebih daripada hukuman pengadilan konvensional karena ketidakpatuhan dapat mengakibatkan sanksi yang lebih berat daripada pengadilan konvensional.[44] Nolan mencatat bahwa meskipun pendukung rehabilitatif keadilan yang berbicara tentang reformasi, menyembuhkan, dan membantu, ada kalanya hasil dari program seperti itu sering lebih parah daripada hukuman yang praktek peradilan konvesional.[45] Richard Boldt juga mencatat bahwa meskipun pelaku "mungkin mendapatkan perawatan rehabilitatif yang dibutuhkan, masih dimungkinkan pula mereka akan mengalami intimidasi dan penghukum. Demikian pula, Dawn Moore berpendapat bahwa penggunaan penetapan penahanan oleh pengadilan sebagai faktor eksternal motivasi terapi untuk menggambarkan kecenderungan hukuman yang dapat dideteksi ketika mengejar tujuan terapeutik. Dia menyarankan bahwa sanksi seperti "pengawasan dan kemungkinan sanksi, pada akhirnya merupakan hukuman. Sebagai tanggapan atas kritik bahwa pengadilan ini mungkin lebih menghukum, Hora et al., menunjukkan bahwa pengawasan yang intensif dari Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika memiliki manfaat bagi pelaku.

Penulis setuju dengan argumen bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika adalah hukuman. Untuk mencapai tujuan merehabilitasi penyalahguna, terdapat potensi bahaya bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika dapat mengabaikan integritas moral dan hak-hak hukum dari pelaku dan, sampai batas tertentu, menurunkan martabat pelaku. Terlepas pengadilan atau pelaku menyadarinya, apa yang mungkin terjadi selama perawatan adalah upaya untuk memaksakan pada pelaku supaya tunduk dan patuh. Mengatasnamakan "bantuan", pelaku dikenakan berbagai pembatasan, pengawasan melekat, dan pengurangan otonomi. Dalam hal ini, pelaku bisa berakhir menjadi kehilangan martabat mereka.

Supaya tercapa tujuan untuk mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan di Indonesia, maka Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika harus menghormati integritas moral pelaku dan ketidakpatuhan seharusnya tidak menghasilkan hukuman pemenjaraan.

5.2. Melanggar perintah Pengadilan

Jika tujuannya adalah untuk mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan di Indonesia, maka masih terdapat kemungkinan permasalahan bahwa pelaku akan dihukum lebih keras, bahkan jika pelanggaran terhadap perintah Pengadilan tersebut merupakan hasil dari rencana perawatan yang tidak pantas.

Berbagai kritik telah ditujukan pada Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika termasuk, jika perintah pengadilan dilanggar, dapat mengakibatkan hukuman pemenjaraan lebih keras. Karena respon pelaku untuk perintah pengadilan merupakan elemen penting dalam Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika, terdapat kemungkinan jika semakin banyak perintah di dalam waktu singkat, akan semakin banyak perintah yang dilanggar.

Untuk menanggapi isu bahwa terlalu banyak kondisi / persyaratan dapat mengakibatkan semakin banyak perintah yang dilanggar, ada beberapa alternatif solusi, antara lain: (a) bahwa intervensi awal harus memotivasi penyalahguna narkotika dan menjaga mereka dalam terapi, (b) penundaan program perawatan hanya digunakan sebagai upaya terakhir bagi yang melanggar.[46] Tampaknya bahwa jika kekambuhan hanya dipandang sebagai pelanggaran terhadap perintah, maka pelaku bisa dengan mudah berakhir di penjara. Tapi, jika kekambuhan dipandang sebagai salah satu fase dalam mengurangi tingkat ketergantungan narkotika, maka ada kemungkinan bahwa pelaku tidak akan dengan mudah berakhir di penjara.

Untuk memastikan bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika mencapai tujuan mereka mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan di Indonesia, akan bermanfaat untuk menetapkan pedoman tentang syarat dan ketentuan pelanggaran perintah.Hal ini juga akan bermanfaat bagi Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika untuk memberikan lebih banyak dukungan kepada pelaku yang kambuh, bukan hanya menghukum mereka. Selain itu, penundaan dari program perawatan harus digunakan sebagai pilihan terakhir bagi yang melanggar.

5.3. Sanksi tanpa batas

Kritik lain telah dialamatkan ke Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika, termasuk potensi bahaya yang hukuman tanpa batas dan periode panjang keikutsertaan dalam program dapat menyebabkan penghukuman yang berlebihan.[47] Para kritikus berpendapat bahwa karena sistem memungkinkan hukuman tanpa batas dan kebipenuntut umumnaan yang luas, jumlah total "hukuman" yang dikenakan akan sulit diperkirakan, yang mengarah ke kemungkinan sanksi lebih keras. Selain itu, ketidakpastian sanksi tanpa batas dapat menyampaikan pesan kepada pelaku bahwa mereka secara moral lemah dan harus diperlakukan seperti "binatang untuk dilatih". terdapat juga bahaya terdapatnya kekuasaan diskresi yang luas tanpa didukung oleh pengambilan keputusan yang sistematis dan rasional. Karena kompleksitas dalam prognosis, evaluasi, dan diagnosis, adalah mungkin bahwa keputusan akan didasarkan pada prediksi yang salah atau menyesatkan. Hal ini tidak selalu mudah untuk memperkirakan hasil bagi yang melanggar, karena kekuatan untuk menjatuhkan sanksi selalu di tangan hakim.

Menanggapi kritik bahwa ketidakpastian bersifat hukuman, hakim Mathew di Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika di Glasgow menyatakan bahwa hakim Skotlandia tetap enggan menggunakan hukuman pemenjaraan karena sebagian besar pelaku disidangkan di Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika Skotlandia adalah " pelaku dengan ancaman hukuman tinggi", sehingga pemenjaran tidak membuat mereka jera. Hanya satu hakim mengaku telah memberlakukan hukuman pemenjaraan. Menariknya, undang-undang Skotlandia juga menetapkan batas atas untuk hukuman pemenjaraan tidak lebih dari 28 hari. Dikatakan bahwa membatasi waktu pemenjaraan mungkin mencegah hukuman ganda.

Jika salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan di Indonesia, maka ada beberapa pertanyaan yang harus diatasi. Pertama, bisa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika menghindari hukuman pemenjaraan wajib untuk kasus narkotika di Indonesia? Kedua, ada bahaya bahwa pelaku dapat dikenakan perintah perawatan tanpa mengakui kesalahannya. Setelah perawatan dilaksanakan, tidak ada jaminan bahwa ancaman hukuman akan dicabut.

Dengan demikian, untuk memastikan bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika mencapai tujuan mereka mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan di Indonesia, akan bermanfaat untuk menetapkan pedoman penentuan kapan hukuman pemenjaraan dapat dipertimbangkan dan untuk berapa lama. Misalnya, undang-undang menetapkan maksimal pemenjaraan tidak lebih dari 28 hari.

5.4. Siapa yang masuk ke Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika?

Sebuah kritik yang ditujukan pada Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika adalah bahwa ada bahaya bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah menjadi terlalu menarik perhatian masyarakat. Hal ini dapat mengakibatkan terlalu banyak orang pergi ke Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika untuk berbagai alasan dan untuk jangka panjang Pengadilan Pemecahan Masalah tersebut akan "memperluas jaringan sistem peradilan". Jika Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika mengklaim kompetensi dalam berbagai pelayanan sosial, maka, hal itu akan menghasilkan "Pengadilanisasi".

Kebijakan penyaringan perkara yang dapat dilimpahkan ke Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika juga menjadi target untuk kritik khususnya bagi orang miskin dan "minoritas tak mampu " yang mudah terancam hukuman pemenjaraan. Namun, kelompok-kelompok ini, dengan risiko tertinggi hukuman pemenjaraan, mengalami kesulitan mengakses ke Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika. Mereka juga tidak terwakili dan terabaikan dari Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika. Kesulitan-kesulitan ini dapat mengakibatkan lebih banyak orang miskin yang dipenjara di pengadilan konvensional.

Untuk memastikan bahwa penggunaan hukuman pemenjaraan di Indonesia berkurang akan lebih baik untuk mengatur pedoman penyaringan untuk menargetkan golongan minoritas dan tidak mampu yang dianggap beresiko menerima hukuman pemenjaraan.

5.5. Apakah hakim merupakan orang yang tepat untuk bertindak sebagai terapis terhadap pelaku?

Kritik lainnya ditujukan pada Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika berfokus pada apakah hakim benar-benar orang yang tepat untuk bertindak sebagai terapis terhadap pelaku. Kritikus mempertanyakan apakah hakim akan lebih mampu memahami, tantangan, dan memotivasi pelaku untuk mengubah daripada terapis profesional? Tidak ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan ini. Penelitian tidak menunjukan bahwa hakim lebih baik daripada terapis profesional. Helena Popovic, seorang hakim yang terlibat dalam praktek terapi, memperingatkan hardikan yang terjadi Pengadilan Pemecahan Masalah. Hardikan dapat menyampaikan pesan bahwa pelaku adalah warga negara kelas dua atau dianggap sebagai menggurui. Dia juga mengingatkan bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah harus tetap memperhatikan prinsip-prinsip dasar keterbukaan dan keadilan. Misalnya, pertemuan sebelum persidangan , melanggar prinsip keterbukaan.[48] Namun, beberapa pendukung Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika percaya bahwa hakim dipandang sebagai orang yang tepat untuk bertindak sebagai terapis karena mereka tidak memihak. Argumen ini didasarkan pada evaluasi persepsi pelaku tentang Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika, menunjukkan bahwa pelaku menghargai elemen keadilan prosedural yang diberikan oleh hakim, seperti: memperbolehkan pelaku untuk menceritakan kisah dirinya, mendorong pelaku untuk berhasil, memahami latar belakang perkara, perawatan yang ramah, dan mudah dijangkau.

Pelaku juga menghargai interaksi hakim, seperti memberikan penjelasan tentang perintah pengadilan, sehingga pelaku dapat mengajukan pertanyaan, berdiskusi langsung, dan membuat kontak mata secara teratur. Bukti dari Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika di Glasgow nampak jelas menggambarkan kapasitas hakim untuk mempertahankan interaksi terus-menerus dengan pelaku. Namun demikian, diperlukan kehati-hatian dalam mempertimbangkan prinsip perann hakim dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Terdapat potensi bahaya jika hakim terlalu peduli dengan pendekatan terapi, dapat bertentangan dengan peran dasar hakim antara lain: hakim harus menghormati hak-hak pelaku untuk diproses hukum dan bertindak adil dan tidak memihak.

Hakim Indonesia penting untuk mendekati terapis profesional, pekerja sosial, dan pelaku dengan cara yang hormat, sambil memastikan keadilan proses hukum telindungi. Diharapkan dengan pendekatan hubungan kerja yang lebih dekat dan konsultasi informal akan mengarah pada tindakan terkoordinasi antara pelayanan sosial dan pengadilan: akhirnya pendekatan ini lebih bisa mengatasi masalah-masalah sistemik seperti, kecanduan narkotika dan alkohol, disabilitas intelektual, dan disabilitas mental dan masalah terkait seperti tunawisma dan pengangguran. Itu juga menyatakan bahwa "masalah mikro-sosial" yang mungkin telah bertindak sebagai katalis yang mengarah ke penyalahgunaan dapat diatasi dengan cara kerja sama tim.

5.6. Konflik Peran dari Penasihat Hukum

Tampaknya ada konflik dasar dalam peran penasihat hukum yang mencoba untuk bergabung dalam "tim-kerja ", tapi pada saat yang sama harus menjunjung hukum acara pembuktian dari suatu sistem peradilan. Sebagai contoh, penasihat hukum berurusan dengan klien kecanduan narkotika cenderung percaya bahwa berbagi informasi rahasia klien dengan tim-kerja berpotensi mengancam klien karena informasi tersebut berkaitan dengan ancaman hukuman klien atas dasar keterlibatan mereka dalam kejahatan lain atau selama perawatan pengadilan. Di sisi lain, ia menilai tim-kerja melihatnya sebagai masukan berharga untuk mempertimbangkan jenis perintah yang pas untuk pelaku. Namun demikian, nampaknya penasihat hukum memiliki peran yang relatif kecil dalam proses, misalnya dengan tidak hadir dalam pertemuan pra-persidangan.

Sampai sejauh mana akan informasi rahasia hanya digunakan hanya untuk tujuan perawatan? penasihat hukum sering mengutamakan kerahasiaan, sehingga informasi "sensitif" tidak boleh digunakan sebagai dasar untuk menjatuhkan hukuman pemenjaraan. Dengan demikian ada kekhawatiran bahwa pengakuan yang dibuat oleh pelaku dapat dijadikan dasar untuk penuntutan terpisah. Untuk mengatasi kekhawatiran ini, peraturan dibuat untuk memastikan bahwa hukum melindungi informasi rahasia ini. Penuntut umum, hakim dan penasihat hukum akan menyetujui bahwa informasi rahasia tentang kecanduan pelaku hanya akan digunakan untuk tujuan perawatan. Hal ini tampaknya merupakan langkah logis untuk membangun rasa aman dan kepercayaan yang diperlukan untuk perawatan yang efektif. McIvor pada tahun 2009 melakukan studi sosiologis yang meneliti cara-cara di mana etika saling percaya dan peduli antara pelaku dan hakim adalah utama untuk mendukung proses perubahan bagi penyalahguna. Proses membangun hubungan saling percaya, diyakini, akan mendukung tujuan rehabilitasi. Diyakini, bahwa jika kepercayaan dicapai, hal itu dapat mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan.

Untuk memastikan bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika mencapai tujuan mereka mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan di Indonesia, hal itu akan bermanfaat bagi penuntut umum, hakim, dan tim-kerja menyetujui "sifat kerahasiaan". Peraturan yang diperlukan untuk memastikan bahwa selama sesi terapi, hukum melindungi informasi mengenai aktivitas narkotika dan insiden kekambuhan : misalnya, frekuensi penggunaan narkotika dan melewatkan janji DTTOs.

6. Kompatibilitas Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika dengan Indonesia

Ada bahaya bahwa mengimpor budaya hukum baru dapat menimbulkan masalah Nolan mencontohkan proses transplantasi ke Skotlandia. Dia menunjukkan bahwa dengan pelunakan, pemodifikasian, dan penghalusan model Amerika, Skotlandia berhasil mengadopsi "evolusi" dan menolak fitur "revolusioner" dari Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika. Argumen ini didasarkan pada asumsi bahwa transplantasi hukum harus sesuai dengan situasi lokal mereka. Dengan demikian, kita perlu mempertimbangkan bahwa memilah-milah elemen yang sesuai dengan situasi hukum Indonesia memerlukan waktu. Untuk memastikan bahwa transplantasi hukum berlangsung dengan sukses di Indonesia, akan bermanfaat bagi para hakim Indonesia untuk terikat oleh prosedur dalam menjalankan Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika, karena dalam sistem peradilan Indonesia, hakim berhak untuk menegakkan hak-hak hukum dari pelaku. Ide rehabilitasi tampaknya tidak sepenuhnya asing bagi budaya hukum Indonesia, namun kita perlu berhati-hati tentang bahaya bahwa gagasan rehabilitasi mungkin, sampai batas tertentu, menyangkal hak-hak hukum dan integritas moral pelaku narkotika.

C. KESIMPULAN

Apakah Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika membantu untuk mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan untuk penyalahguna narkotika di Indonesia? Seperti yang kita lihat dari bukti-bukti, dengan memiliki pemantauan terus menerus dan interaksi yang baik antara pelaku narkotika dan hakim yang sama, hakim dapat lebih memahami masalah pelaku dan merasakan simpati yang tulus dengan pelaku, kurang cenderung untuk memaksakan hukuman pemenjaraan. Dengan demikian, kita bisa berharap bahwa hukuman pemenjaraan dapat dikurangi. Namun, ada banyak faktor lain yang akan mempengaruhi tujuan mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan untuk pelaku narkotika di Indonesia, termasuk faktor-faktor sosial-politik, kondisi ekonomi, pandangan agama dan adat istiadat dan sikap publik mengenai kejahatan dan hukuman. Tetapi jika kita menganggap bahwa faktor ini adalah sama, maka kita bisa mengharapkan Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika akan mengurangi penggunaan hukuman pemenjaraan di Indonesia. Tapi kita tidak bisa mengetahui persis hal tersebut. Ini adalah harapan kami. Apakah Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika kurang hukuman dan lebih manusiawi? Penelitian ini tidak menyimpulkan bahwa Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika tidak selalu kurang hukuman dan lebih manusiawi daripada pengadilan konvensional. Atas nama "membantu' pelaku dikenakan berbagai pembatasan, pengawasan melekat, dan otonomi nya dibatasi. Dalam hal ini, pelaku dapat kehilangan martabat mereka. Apakah Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika sesuai dengan situasi lokal di Indonesia? Tampaknya mekanisme turun-tangan-langsung tidak sepenuhnya asing bagi budaya hukum Indonesia. Begitu pula denga pemantauan berkelanjutan oleh peradilan dan tim-kerja inter-disipliner nampaknya akan sesuai dengan persidangan Indonesia. Namun demikian pendekatan seperti keterlibatan hakim dengan masyarakat mungkin tidak cocok dengan ruang sidang Indonesia.

Haruskah Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika diperkenalkan di Indonesia? Salah satu hal menarik dari Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika adalah dapat mengurangi perkara yang dianggap beresiko tinggi menerima hukuman pemenjaraan. Hakim Pengadilan Negeri nampaknya harus lebih bijak menggunakan kewenangannya untuk mengurangi hukuman pemenjaraan kasus penyalahgunaan narkotika, melaksanakan pemantauan berkelanjutan, dan mulai berkolaborasi melalui antar-disiplin tim-kerja. Mengingat bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia memiliki independensi peradilan untuk merumuskan anggaran sendiri, nampaknya hanya masalah menunggu dukungan Pemerintah Indonesia. Dengan demikian, ada alasan yang baik untuk Mahkamah Agung Indonesia untuk memulai mendefinisikan ulang fasilitas sudah tersedia dan mulai memperkenalkan Pengadilan Pemecahan Masalah untuk Penyalahgunaan Narkotika.

DAFTAR PUSTAKA

Berman, G. "A Thousand Small Sanities" Centre for Court Innovation. 2012
Boldt, R. C. "Rehabilitative punishment and the drug treatment court movement. ", Wash. ULQ, 76, 1205. 1998
Carey, S., Waller, M., & Marchand, G. Malheur County Adult DCs (SAFE Court) Cost Evaluation: Final Report. 2005. http://www1.spa.american.edu/justice/documents/89.pdf (accessed 5/13/2013)
Cindy S. Lederman, Richard L. Wiener, Eve M. Brank (eds.) Problem Solving Courts: Social Science and Legal Perspectives. Springer New York 2013
D A. Reilly. "Building Supportive Services in Drug Courts" in G F Roper and J E Lessenger . Drug courts: a new approach to treatment and rehabilitation. New York: Springer c2007.
Dawn Moore. The benevolent watch: Therapeutic surveillance in drug treatment court Theoretical Criminology. August (2011) 15: 255-268
Dawn Moore .Translating Justice and Therapy. Brit. J. Crimnol. (2007) 47, 42–60
Duke, K. From crime to recovery the reframing of British drugs policy? Journal of Drug Issues, (2012) 43(1), 39-55.
DeVall, K. E. The Theory and Practice of Drug Courts: Wolves in Sheep Clothing? ProQuest. (2008)
E. Miller "The Therapeutic Effects of Managerial Re-Entry Courts" Federal Sentencing Reporter (2007) 20(2): 127-135
E. Miller . "DCs and the New Penology" Stanford Law & Policy Review. (2009) Vol 20: 417-455
Freiberg, A . "Post-adversarial and post-inquisitorial justice: transcending Traditional penological paradigms" (2011) 8(1) European Journal of Criminology 82-101
G McIvor . TJ and procedural justice in Scottish DCs. Criminology and Criminal Justice .(2009) Vol: 9(1): 29–49
Gloria Danziger, & Jeffrey A. Kuhn, . Drug Treatment Courts: Evolution, Evaluation, and Future Directions, 3 J. Health Care L. & Poly (1999) 166. http://digitalcommons.law.umaryland.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1053&context=jhclp (accessed 5/12/2013)
Goldkamp, J. S. Drug Court Response: Issues and Implications for Justice Change, The. Alb. L. Rev., (1999) 63, 923
Hudson, B. Understanding Justice. McGraw-Hill International.(2003)
McCoy, C. Politics of Problem-Solving: An Overview of the Origins and Development of Therapeutic Courts, The. Am. Crim. L. Rev., (2003) 40, 1513.
McIvor, G., Barnsdale, L., Eley, S., Malloch, M., Yates, R. and Brown, A. The Operation and Effectiveness of the Scottish Drug Court Pilots, Edinburgh: Scottish Executive Research Findings No. 81/2006. https://dspace.stir.ac.uk/bitstream/1893/1216/1/drugcourts.pdf [accessed 5/13/2013]
McManus, P. C. Therapeutic Jurisprudential Approach to Guardianship of Persons with Mild Cognitive Impairment, A. Seton Hall L. Rev., (2005) 36, 591.
McSweeney, T., Stevens, A., Hunt, N. and Turnbull, P. "Drug Testing and Court Review Hearings: Uses and Limitations, Probation Journal, (2008a) 55(1): 39-53.
McSweeney, T., Turnbull, P. and Hough, M. The Treatment and Supervision of Drug-Dependent Offenders: A Review of the Literature Prepared for the UK Drug Policy Commission, London: UKDPC. (2008b). http://www.ukdpc.org.uk/wp-content/uploads/Evidence%20review%20-%20The%20treatment%20and%20supervision%20of%20drug-dependent%20offenders.pdf (Accessed 5/13/2013)
Miller, E. ‘A Criminal Justice Revolution?’ Public Lecture, Strathclyde Centre for Law, Crime and Justice. (2012). http://vimeo.com/clcj (Accessed 17/08/2013)
Miller, E. J. Embracing addiction: Drug courts and the false promise of judicial interventionism. Ohio St. LJ, (2004) 65, 1479.
Nolan Jr, J. L. Harm Reduction and the American Difference: Drug Treatment and Problem-Solving Courts in Comparative Perspective. J. Health Care L. & Pol"y, (2010) 13, 31.
Nolan, J. L. Legal accents, legal borrowing: The international problem-solving court movement. Princeton University Press. (2009)
Nolan Jr, J. L. Redefining criminal courts: Problem-solving and the meaning of justice. Am. Crim. L. Rev., 40, 1541. (2003)
Nolan, J. L. Therapeutic adjudication. Society, (2002) 39(2), 29-38
Shaffer, D. K. Reconsidering DCs effectiveness: A meta-analytic review (Doctoral dissertation, University of Cincinnati). 2006. http://etd.ohiolink.edu/view.cgi?ucin1152549096 (accessed 5/13/2013)
Steve Leben. Book Review : Judging in a Therapeutic Key: Therapeutic Jurisprudence and the Courts, edited by Bruce J. Winick and David B. Wexler. Durham, NC: Carolina Academic Press, 2003.
Susan Daicoff . "The role of therapeutic jurisprudence within the comprehensive law movement " In Practicing Therapeutic Jurisprudence: as helping profession Ed, Dennis P. Stolle, David B. Wexler, and Bruce Winick (Durham, NC: Caroline Academic Press, 465, 2000.
Tata . Beyond the revolving court door: is it time for Problem-Solving Courts in Scotland? Scottish Justice Matters (June 2013) Vol.1 Issue 1.
Turnbull, P.J., T. McSweeney, R. Webster, M. Edmunds and M. Hough (2000) Drug Treatment and Testing Orders: Final Evaluation Report. Home Office Research Study 212. London: Home Office.
Wexler, D.B. ‘Robes and Rehabilitation: How Judges Can Help Offenders “Make Good’, Court Review (2001) 38(1): 18–23.

Constitution

The Indonesian Narcotics Law 35/2009
Supreme Court Circulars (Surat Edaran Mahkamah Agung or SEMA) 3/2011

Publikasi Pemerintah

Balitbang Diklat Kumdil MA-RI. Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya. http://litbangdiklatkumdil.net/publikasi-litbang.html?start=10 (Accessed 06/07/2013)
Balitbang Diklat Kumdil MA-RI . Pemidanaan terhadap pengedar dan pengguna narkoba (penelitian asas, teori, norma dan praktik penerapannya dalam putusan pengadilan). 2012. http://litbangdiklatkumdil.net/index.php?option=com_phocadownload&view=file&id=550:pemidanaan-terhadap-pengedar-dan-pengguna-narkoba&Itemid=56 (Accessed 15/08/2013)
Hasibuan . Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Agama. Kementrian Agama Provinsi Riau. 2013. http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=249 (accessed 7/17/2013).
Badan Narkotika Nasional. Ringkasan Eksekutif Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia Tahun 2011. http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/puslitdatin/hasil-penelitian/10263/ringkasan-eksekutif-survey-nasional-lahgun-narkoba-2011-kerugian-sosial-dan-ekonomi(Acessed 06/07/2013)
Made Darma Weda . "Pemidanaan Terhadap Pengedar dan Pengguna Narkoba". Dalam Balitbang Diklat Kumdil MA-RI. 2012. Pemidanaan terhadap pengedar dan pengguna narkoba (penelitian asas, teori, norma dan praktik penerapannya dalam putusan pengadilan). http://litbangdiklatkumdil.net/index.php?option=com_phocadownload&view=file&id=550:pemidanaan-terhadap-pengedar-dan-pengguna-narkoba&Itemid=56 (Accessed 15/08/2013)
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Republik Indonesia. http://smslap.ditjenpas.go.id/public/krl/current/monthly/year/2013/month/7 (Accessed 15/08/2013)
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%20996%20ttg%20Pedoman%20Penyelenggaraan%20Sarana%20Pelayanan%20Rehab%20Penyalahgunaan%20NAPZA.pdf (Accessed 15/08/2013)

Surat Kabar

The Indonesian Narcotics Agency (BNN) news. http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/08/13/3/174607/BNN-Bandar-Mestinya-Direhab-dan-Ditahan (Accessed 15/08/2013)

Footnote:

[1]Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Republik Indonesia. http://smslap.ditjenpas.go.id/public/krl/current/monthly/year/2013/month/7 (Accessed 15/08/2013)
[2]Kementrian Kesehatan Indonesia untuk telah menerapkan ide rehabilitasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Nomor. 999/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Fasilitas Pelayanan dan Rehabilitasi Narkotika Penyalahgunaan dan Ketergantungan narkotika. http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%20996%20ttg%20Pedoman%20Penyelenggaraan%20Sarana%20Pelayanan%20Rehab%20Penyalahgunaan%20NAPZA.pdf (Accessed 15/08/2013)
[3]Badan Narkotika Indonesia. http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/08/13/3/174607/BNN-Bandar-Mestinya-Direhab-dan-Ditahan (Accessed 15/08/2013)
[4]Mahkamah Agung Republik Indonesia Peraturan Nomor 4 tahun 2010 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011. Sebagai hukum legitimasi bahwa pecandu bukanlah pelaku kejahatan tetapi orang yang menderita kecanduan membutuhkan perawatan baik secara fisik dan dukungan psikologis untuk dapat kembali ke kehidupan normal.
[5]Balitbang Diklat Kumdil MA-RI . Pemidanaan terhadap pengedar dan pengguna narkoba (penelitian asas, teori, norma dan praktik penerapannya dalam putusan pengadilan). 2012:105. http://litbangdiklatkumdil.net/index.php?option=com_phocadownload&view=file&id=550:pemidanaan-terhadap-pengedar-dan-pengguna-narkoba&Itemid=56 (Accessed 15/08/2013)
[6]Tata. Beyond the revolving court door: is it time for Problem-Solving Courts in Scotland? Scottish Justice Matters (June 2013) Vol.1 Issue 1:17 mengutip Nolan, J. L. Legal accents, legal borrowing: The international problem-solving court movement. Princeton University Press 2009:25
[7]Tata. Beyond the revolving court door: is it time for Problem-Solving Courts in Scotland? Scottish Justice Matters (June 2013) Vol.1 Issue 1:7
[8]McCoy, C. Politics of Problem-Solving: An Overview of the Origins and Development of Therapeutic Courts, The. Am. Crim. L. Rev., (2003) 40, 1513.p.1531
[9]Turnbull, P.J., T. McSweeney, R. Webster, M. Edmunds and M. Hough (2000) Drug Treatment and Testing Orders: Final Evaluation Report. Home Office Research Study 212. London: Home Office.p.80
[10]Boldt, R. C. "Rehabilitative punishment and the drug treatment court movement. ", Wash. ULQ, 76, 1205. 1998 :1251
[11]G McIvor . TJ and procedural justice in Scottish DCs. Criminology and Criminal Justice .(2009) Vol: 9(1). p.30
[12]Tata 2013:18
[13]Lihat Freiberg 2011:85 mengutip King et al., 2009. The regards kasus non-permusuhan sebagai pemecahan masalah dan penyelesaian sengketa.
[14]Gloria Danziger, & Jeffrey A. Kuhn, . Drug Treatment Courts: Evolution, Evaluation, and Future Directions, 3 J. Health Care L. & Poly (1999) 168-9. http://digitalcommons.law.umaryland.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1053&context=jhclp (accessed 5/12/2013) mengutip Hora et al., 1999:453
[15]Nolan, J. L. Legal accents, legal borrowing: The international problem-solving court movement. Princeton University Press. (2009). p.182 mengutip Bean 2001:140-46
[16]Nolan 2009:202 mengutip Braithwaite 2002:244
[17]Cindy S. Lederman, Richard L. Wiener, Eve M. Brank (eds.) Problem Solving Courts: Social Science and Legal Perspectives. Springer New York 2013. Yurisprudensi terapeutik memandang hukum itu sendiri sebagai agen terapeutik.
[18]McIvor 2009:35 mengutip Lind et al, 2002;. Freeman 2002; Veraar dan Makkai 2003;. Indermauer et al, 2004;. Wilson et al, 2004;. Goldkamp et al, 2001; Belenko 2001; Goldkamp 2000; Gebelein 2000;
[19]McIvor, G., Barnsdale, L., Eley, S., Malloch, M., Yates, R. and Brown, A. The Operation and Effectiveness of the Scottish Drug Court Pilots, Edinburgh: Scottish Executive Research Findings No. 81/2006. P.14. https://dspace.stir.ac.uk/bitstream/1893/1216/1/drugcourts.pdf [accessed 5/13/2013]
[20]McSweeney, T., Stevens, A., Hunt, N. and Turnbull, P. "Drug Testing and Court Review Hearings: Uses and Limitations, Probation Journal, (2008a) 55(1).p. 7
[21]E. Miller . "DCs and the New Penology" Stanford Law & Policy Review. (2009) Vol 20: 442 mengutip Hoffman 2002:2071
[22]McSweeney, T., Turnbull, P. and Hough, M. The Treatment and Supervision of Drug-Dependent Offenders: A Review of the Literature Prepared for the UK Drug Policy Commission, London: UKDPC. (2008b). P.34. http://www.ukdpc.org.uk/wp-content/uploads/Evidence%20review%20-%20The%20treatment%20and%20supervision%20of%20drug-dependent%20offenders.pdf (Accessed 5/13/2013) mengutip Sung dan Belenko 2005
[23]Carey, S., Waller, M., & Marchand, G. Malheur County Adult DCs (SAFE Court) Cost Evaluation: Final Report. 2005. p.25. http://www1.spa.american.edu/justice/documents/89.pdf (accessed 5/13/2013)
[24]McSweeney, T., Stevens, A., Hunt, N. and Turnbull, P. "Drug Testing and Court Review Hearings: Uses and Limitations, Probation Journal, (2008a) 55(1). p.41 mengutip Haapanen et al, 1998.
[25]Lihat McIvor 2009:34 mengutip Tyler 1990. Keadilan prosedural mengacu pada representasi, keadilan, dan ethicality
[26]Nolan, J. L. Therapeutic adjudication. Society, (2002) 39(2)Nolan, J. L. Therapeutic adjudication. Society, (2002) 39(2). p.38
[27]McIvor 2009:35 mengutip Wilson et al, 2004;.. Indermauer et al, 2004; Veraar dan Makkai 2003; Freeman 2002; Lind et al, 2002;.. Goldkamp et al, 2001; Belenko 2001; Goldkamp 2000; Gebelein 2000;
[28]McIvor 2009:31 mengutip Eley et al., 2002:1
[29]Wexler, D.B. ‘Robes and Rehabilitation: How Judges Can Help Offenders “Make Good’, Court Review (2001) 38(1). P.20
[30]McManus, P. C. Therapeutic Jurisprudential Approach to Guardianship of Persons with Mild Cognitive Impairment, A. Seton Hall L. Rev., (2005) 36. p.612 mengutip Seligman 1975
[31]Gloria Danziger, & Jeffrey A. Kuhn, . Drug Treatment Courts: Evolution, Evaluation, and Future Directions, 3 J. Health Care L. & Poly (1999) p.167-8. http://digitalcommons.law.umaryland.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1053&context=jhclp (accessed 5/12/2013) mengutip Aukerman & McGarry: 37
[32]Dawn Moore. The benevolent watch: Therapeutic surveillance in drug treatment court Theoretical Criminology. August (2011) 15: 266
[33]Freiberg, A . "Post-adversarial and post-inquisitorial justice: transcending Traditional penological paradigms" (2011) 8(1) European Journal of Criminology. p.85
[34]Nolan 2009:146 mengutip McIvor 2006:56 mengutip Sheriff Donald 2006
[35]Nolan 2009:46 mengutip Braithwaite 2002:244
[36]McSweeney, T., Stevens, A., Hunt, N. and Turnbull, P. "Drug Testing and Court Review Hearings: Uses and Limitations, Probation Journal, (2008a) 55(1): 41 mengutip Taxman 2002:21
[37]McSweeney, T., Stevens, A., Hunt, N. and Turnbull, P. "Drug Testing and Court Review Hearings: Uses and Limitations, Probation Journal, (2008a) 55(1): : 40 mengutip McNeill 2006
[38]Goldkamp, J. S. Drug Court Response: Issues and Implications for Justice Change, The. Alb. L. Rev., (1999) 63:960
[39]Nolan Jr, J. L. Redefining criminal courts: Problem-solving and the meaning of justice. Am. Crim. L. Rev., 40, 1541. (2003): 1558
[40]D A. Reilly. "Building Supportive Services in Drug Courts" in G F Roper and J E Lessenger . Drug courts: a new approach to treatment and rehabilitation. New York: Springer c2007: p.214
[41]Nolan 2009:33 mengutip Freiberg 2002:4
[42]E. Miller . "DCs and the New Penology" Stanford Law & Policy Review. (2009) Vol 20: p.420
[43]Duke, K. "From crime to recovery the reframing of British drugs policy?" Journal of Drug Issues, (2012) 43(1), p.51 mengutip Strang 2012:5
[44]DeVall, K. E. The Theory and Practice of Drug Courts: Wolves in Sheep Clothing? ProQuest. (2008).p.83-84
[45]Nolan Jr, J. L. Redefining criminal courts: Problem-solving and the meaning of justice. Am. Crim. L. Rev., 40, (2003) p.1555
[46]Turnbull, P.J., T. McSweeney, R. Webster, M. Edmunds and M. Hough (2000) Drug Treatment and Testing Orders: Final Evaluation Report. Home Office Research Study 212. London: Home Office. p.4-85
[47]Boldt, R. C. "Rehabilitative punishment and the drug treatment court movement. ", Wash. ULQ, 76, 1205. 1998. p.1230 mengutip American Friends Layanan Committee 1971:84
[48]Lihat Nolan 2009:105 mengutip Popovic 2006:61-66. Pertemuan pra-pengadilan adalah pertemuan di mana tim DC bertemu di pengadilan untuk membahas kasus-kasus peserta yang tidak termasuk terdakwa.



.